Amr Bin ‘Ash Masuk Islam
nikmat hidayah islam adalah nikmat yang sangat besar sekali. Sangat beruntung beberapa manusia lahir dalam keadaan islam, tetapi beberapa manusia terlahir dalam keadaan ingkar kafir memusuhi islam baru kemudian setelah melalui pembelajaran hidup dunia mereka masuk Islam. Beberapa sahabat Rasulullah SAW pun berasal dari para pembenci-pembenci ajaran keilmuan kedisiplinan islam hingga pada akhirnya mereka takluk kepada terang benderang keilmuan islam, diantaranya adalah Sahabat Amr bin ‘Ash.
Sejak zaman Jahiliyah, Amr Nin ‘Ash termasuk seorang saudagar yang sukses di Makkah. Ia biasa menjalin hubungan niaga dengan negeri-negeri jauh, seperti Mesir, Syam (Suriah), Habasyah (Ethiopia), dan Yaman. Dikenal sebagai pakar strategi perang dan berjiwa ksatria sejak masa remaja. Sebagai tokoh Quraisy, Amr bin ‘Ash yang kala itu masih kafir melihat Islam sebagai pengganggu stabilitas sosial-politik Makkah. Satu tindakannya yang tercatat sejarah adalah menghalangi budi baik penguasa Habasyah, Raja Najasyi, yang menerima sekelompok kaum Muslim hijrah ke negeri itu. Keinginan hijrah sejumlah Muslimin ke sana atas anjuran Rasulullah SAW, yang memahami Raja Najasyi sebagai penganut Nasrani yang taat. Peristiwa itu berlangsung sekitar tujuh tahun sebelum hijrahnya beliau dan seluruh umat Islam ke Madinah. Rmbongan Muslim yang dipimpin Ja’far bin Abu Thalib sudah tiba di Habasyah, Namun ketakutan masih meliputi mereka karena para petinggi musyrikin Quraisy justru menyusul. Amr bin ‘Ash ketika itu masih kafir menjadi tokoh Quraisy menyusul menghadap kepada Raja Najasyi. Tujuannya, sang raja agar bersedia mengusir Ja’far bin Abu Thalib & rombongan dari negeri Habasyah. Ibnu ‘Ash begitu optimistis karena kemampuan diplomasinya dan hubungan persahabatannya dengan elite Habasyah.
Sesampainya di istana Habasyah, Amr bin ‘Ash menyampaikan maksud kedatangannya langsung kepada Raja Najasyi. Sang Raja tidak langsung menyerahkan orang-orang Islam pencari suaka itu. Dengan bijaksana, Raja Najasyi memperhadapkan Amr bin ‘Ash dengan Ja’far bin Abu Thalib. Tujuannya, agar Raja Najasyi dapat berlaku adil dalam menilai siapa sesungguhnya yang paling benar dalam urusan ini. Untuk memenangkan argumennya, Amr bin ‘Ash menyatakan kepada Raja Najasyi bahwa orang-orang Islam itu memiliki pandangan yang berbeda mengenai Maryam, ibunda Nabi Isa AS.
Sebagai seorang Nasrani yang saleh, Raja Najasyi cukup terkejut. Akan tetapi, Ja’far bin Abu Thalib ternyata mampu menjelaskan bagaimana Islam memuliakan sosok Maryam dan putranya, Nabi Isa AS.
Itu khususnya setelah Ja’far membacakan kepada sang raja Alquran surah Maryam ayat ke-14. Belum selesai ayat tersebut dibacakan, air mata Raja Najasyi berderai haru. Para pendeta kerajaan juga meneteskan air mata karena hati mereka tergugah keindahan ayat tersebut.
وَبَرًّۢا بِوَٰلِدَيْهِ وَلَمْ يَكُن جَبَّارًا عَصِيًّا
Artinya: Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka
“Demi Allah, tidak ada perbedaan barang sehelai rambut pun antara ajaran Isa bin Maryam dan Nabi kalian,” kata Raja Najasyi. Setelah itu, penguasa Habasyah tersebut meminta Amr bin ‘Ash dan para pemuka Quraisy agar berhenti menggangu kaum Muslim.
Kisah keislamannya
setelah kejadian hijrah ke habasyah periode awal umat muslim, Amr bin ‘Ash terus terfikirkan tentang percakapan antara dirinya dan Raja Najasyi. Raja Najasyi lengkap pengetahuannya tentang adanya nabi akhir zaman, menambah timpalan dengan pertanyaan kepada Amr ketika itu, mengapa pula tidak beriman kepadanya, Rasulullah SAW. Kemudian setelah umat islam hijrah ke Madinah perenungan Amr bin ‘Ash tentang kabar nabi akhir zaman terus membuatnya bertanya-tanya, apakah benar Rasulullah SAW semata-mata mengincar kedudukan politik di Makkah? Saat itu, situasi antara umat Islam dan kaum musyrik sudah cukup berubah. Basis kekuasaan kaum Muslim berpusat di Madinah, sedangkan kaum musyrik Makkah terus mengadakan persekutuan demi menyudutkan Rasulullah SAW.
berbagai upaya orang kafir tidak membuahkan hasil. Sementara terang cahaya hidayah Islam menyinari Madinah sungguh kebahagiaan besar bagi umat Rasulullah SAW. Sekitar delapan tahun setelah hijrah ke madinah, tanda-tanda kemunduran kekuatan kaum musyrik telah nampak. Menelaah cacatan perang Ahzab, betapapun kaum musyrik bersekutu dengan kubu-kubu lain untuk memusuhi Nabi SAW, tetap merasakan kekalahan. Dalam kondisi demikian, Amr bin ‘Ash berubah haluan. Dia menuju ke Madinah untuk menyatakan sumpah setia kepada Rasulullah SAW. Peristiwa ini terjadi hanya selang enam bulan sebelum umat Islam membebaskan Makkah tanpa pertumpahan darah (fathu Makkah).
dalam perjalanan Amr bin ‘Ash menjemput hidayah, Amr berpapasan dengan dua orang tokoh Makkah lainnya, Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah. Amr lantas menyadari keduanya memiliki niatan yang sama dengannya. Sesampainya di Madinah, ketiga orang ini diterima dengan baik oleh Rasulullah SAW. Bahkan, Nabi SAW sampai-sampai bersabda, “Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”
Amr bin ‘Ash melakukan sumpah setia (baiat) setelah Khalid bin Walid kepada Rasulullah SAW. Namun, sebelum itu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya akan berbaiat kepada Tuan, asalkan Allah mengampuni dosa-dosaku yang telah lalu.”
“Wahai Amr, berbaiatlah. Karena, Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya,” sambut Rasulullah SAW.
Sejak masuk Islam, tidak ada yang menyurutkan langkah Amr bin ‘Ash dalam menegakkan panji-panji agama tauhid.
Sumber : Republika.com Amr bin Ash MAsuk islam