Tarikh

Kisah Lengkap Perjalanan Dakwah Nuh Alaihissalam

Nama Nuh berasal dari bahasa Syria yang berarti ‘bersyukur’. Nabi Nuh juga mendapatkan gelar dari Allah SWT sebagai abdussyakur. Gelar itu berarti hamba yang banyak bersyukur sesuai dengan surat Al-Isra ayat 3.

ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا

“[Yaitu] anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba [Allah] yang banyak bersyukur,” bunyi terjemahan surat Al-Isra ayat 3.

Nabi Nuh termasuk dalam rasul Ulul Azmi, yaitu rasul dengan ketabahan dan keteguhan hati yang luar biasa. Sesuai surat Al-Ankabut ayat 14, Nabi Nuh bahkan berdakwah selama 950 tahun.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمْ ظَٰلِمُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ankabut : 14 )

Nabi Nuh diutus oleh Allah SWT untuk menyerukan ajaran Allah pada umat Bani Rasib yang penyembah berhala berupa patung-patung. Dengan kesabaran, Nabi Nuh mulai berdakwah kepada umatnya. Dia mengajarkan untuk menyembah Allah, meninggalkan maksiat, dan berbuat kebaikan. Imbal balik dari proses dakwahNabi Nuh, Kaum nabi Nuh tetap saja tak percaya dengan ajaran dan peringatan yang disampaikan. Kaum Bani Rasib bahkan tak percaya bahwa Nabi Nuh merupakan seorang rasul. “Menurut riwayat, jumlah pengikut Nabi Nuh AS tidak lebih dari 80 orang. Para pengikut Nabi Nuh AS tersebut terdiri dari orang-orang miskin dan lemah,” dikutip dari Nabi Nuh AS: Keajaiban Bahtera Raksasa karya Testriono dan Tim Divaro.

berbagai gelombang penolakan terus digerakkan kaum rasib. upaya penolakan pendengaran dan pencerahaan dengan cara memasukkan anak jarinya ke telinga dan menutup wajahnya dengan pakaian tanda penolakan. Kisah perjuangan Nabi Nuh ini terdapat dalam Surat Nuh ayat 1-12.

إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١) قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ (٢) أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ (٣) يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ أَجَلَ اللَّهِ إِذَا جَاءَ لا يُؤَخَّرُ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٤)

Terjemah Surat Nuh Ayat 1-4

  1. Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih,”
  2. Dia (Nuh) berkata, “Wahai kaumku! Sesungguhnya aku ini seorang pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu,
  3. (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku,
  4. Niscaya Dia mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan[7]. Sungguh, ketetapan Allah itu[8] apabila telah datang tidak dapat ditunda, seandainya kamu mengetahui.”

Ayat 5-12: Usaha keras Nabi Nuh ‘alaihis salam dalam berdakwah, kesabarannya dalam berdakwah dan pengorbanannya di jalan Allah.

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًا (٥) فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًا (٦) وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا (٧) ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا (٨) ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا (٩)فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (١٠) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (١١) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (١٢)

  1. Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam,
  2. tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran).
  3. Dan sesungguhnya aku setiap kali aku menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.
  4. Lalu sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang-terangan.
  5. Kemudian aku menyeru mereka secara terbuka dan dengan diam-diam,
  6. maka aku berkata kepada mereka, ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun,
  7. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu,
  8. dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.”

Kaum Nabi Nuh juga menantang Nuh untuk mendatangkan azab yang selalu disampaikan oleh Nuh.

“Mereka berkata ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar’.” Berikut bunyi terjemahan surat Hud ayat 32.

قَالُوا۟ يَٰنُوحُ قَدْ جَٰدَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَٰلَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ

Artinya: Mereka berkata “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”.

Nuh lalu menjawab bahwa azab itu hanya bisa didatangkan oleh Allah. Allah lalu meminta Nabi Nuh tak bersedih dan tetap teguh pada pendirian. Nabi Nuh lalu berdoa agar Allah memberi hukuman pada orang-orang kafir tersebut. Allah lantas memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat sebuah bahtera berupa kapal besar untuk mengangkut orang yang beriman beserta sepasang hewan. Allah menyebut orang-orang kafir itu akan ditenggelamkan.

Setelah bahtera itu dibuat dan tanda banjir besar bakal datang, Nuh memerintahkan pengikutnya untuk naik ke kapal. Perlahan, air bah pun mulai menggenang menenggelamkan daratan.

فَأَنجَيْنَٰهُ وَمَن مَّعَهُۥ فِى ٱلْفُلْكِ ٱلْمَشْحُونِ
ثُمَّ أَغْرَقْنَا بَعْدُ ٱلْبَاقِينَ

“Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal,” bunyi terjemahan surat Asy-Syu’ara ayat 119-120.

Dalam orang-orang yang ditenggelamkan itu, termasuk putra sulung Nabi Nuh, Kan’an dan istrinya yang durhaka. Nabi Nuh sempat mengajak Kan’an naik ke atas kapal, tapi ia menolak dan yakin dapat menyelamatkan diri dari air besar itu.

Nabi Nuh lalu menyadari bahwa cinta pada anaknya membuatnya lupa pada Allah. Nuh lalu memohon ampun kepada Allah dan mengikhlaskan anaknya yang meninggal dan masuk dalam golongan orang kafir.

Kapal Nabi Nuh lalu menepi di pegunungan Arafat. Setelah air surut, Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk turun dan memulai kehidupan baru.

Relasi Menurut al-Qur’an Berdasarkan Keyakinan & Perbuatan


Ketika Nabi Nuh as menyaksikan anaknya diantara gelombang banjir besar, Nabi Nuh as mengajaknya bersamanya. Namun anaknya menolak dan tenggelam dibawa banjir. Akhirnya Nabi Nuh as merasa sedih dan “protes” pada Allah, yang kemudian Allah menjawab bahwa anaknya melakukan perbuatan tidak shalih. Informasi ini mengindikasikan bahwa relasi dalam tradisi Islam dan sesudah dunia ini didasarkan pada relasi keyakinan dan perbuatan bukan relasi nasab (keturunan). Oleh karena itu, dalam kisah di atas, meskipun anak Nabi Nuh as dan isterinya di bawah naungan dan keluarga seorang Rasul tetapi tidak bisa menyelamatkan mereka dari banjir besar. Bahkan al-Qur‟an juga mengingatkan bahwa pada hari akhir nanti tidak ada lagi persaudaraan berdasarkan nasab kecuali takwa. Singkatnya, dalam al-Qur‟an hubungan hari akhir didasarkan pada iman (keyakinan) dan amal perbuatan, Qur‟an menyinggung beberapa keluarga yang berada di bawah asuhan orang shaleh yang menjadi jahat, dan sebaliknya.c


Berdasarkan kisah al-Qur‟an, Nabi Nuh as bisa dikategorikan sebagai seorang yang sabar tanpa batas. Kesabaran ini bisa diindikasikan dari sikap pasrah totalnya kepada Tuhan dan usahanya yang tiada henti. Meskipun ia harus berdakwah dengan waktu yang lama dan mendapatkan pengikut yang
sedikit, Nabi Nuh as tetap berdakwah dengan gigih. Hal ini diceritakan oleh al-Qur‟an 71 (surat Nuh): 5-21, dimana Nabi Nuh as diinformasikan berdakwah siang dan malam, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan tetapi hasilnya nihil dan pertentangan belaka. Akhirnya Nabi Nuh as mengeluhkan hal ini kepada Tuhan. Lalu apakah keluhan ini menjadikan Nabi Nuh as dalam kategori orang yang tak sabar atau sabarnya berbatas. Ibn „Arabi dalam
hikayah al-Iblis menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw ketika berdialog dengan Iblis bertanya :

وما يدريك انو صبور؟ فقال : اي دمحم اذا شكا ضرّه ملخلوق مثلو ثالثة اايم مل يكتب هللا لو
عمل الصابرين


(Wahai Iblis) bagaimana kamu tahu bahwa ia sabar? Iblis menjawab: Wahai Muhammad, jika ia mengeluhkan kesulitannya kepada makhluk sesamanya selama tiga hari maka Allah tidak akan mencatatnya amalnya dalam golongan orang yang sabar.


Berdasarkan pendapat ini, maka Nabi Nuh as adalah orang yang sabarnya tanpa batas, karena ia hanya mengeluhkan masalahnya kepada Tuhan
bukan kepada makhluk. Dengan demikian, nilai kesabaran Nabi Nuh as yang bisa diambil adalah kepasrahan totalnya kepada Allah dan usahanya yang tiada henti, serta keluh kesahnya yang hanya ditujukan kepada Allah hingga akhirnya ia, dalam tradisi Islam dikenal sebagai salah satu Nabi Ulul „Adzmi (Nabi yang memiliki keistemewaan).

Kisah Nabi Nuh as di dalam al-Quran menunjukkan makna yang cukup variatif. Bagi masyarakat Arab, sebagai masyarakat pertama yang menerima
wahyu dari Nabi Muhammad saw, kisah Nabi Nuh as sangat relevan dan sangat dibutuhkan sebab Nabi Nuh as adalah bagian dari nenek moyang
mereka dan secara historis mereka terbiasa mendengar dan atau melihat berbagai sisa-sisa peninggalan peristiwa sejarah tersebut saat mereka melakukan perjalanan dagang ke berbagai daerah Timur Tengah sehingga kisah seperti ini lebih melekat dan bermakna bagi mereka ketika al-Quran mengingatkan mereka tentang kisah ini.

Kemudian, secara filosofis, kisah ini menunjukkan makna yang menekankan pentingnya sikap kepasrahan pada eksistensi Tunggal (Tuhan),
karena secara rasional, prinsip ini mampu menumbuhkan sikap apresiatif terhadap sesama makhluk yang ada di alam ini sehingga mampu menafikan
penindasan dan kerusakan di atas semesta ini. Oleh karena itu, secara tidak langsung, hal ini juga menggambarkan bagian dari proses keberhasilan
pembangunan peradaban bagi manusia, dimana moral baik akan mampu menggiring dan melestarikan kejayaan sebuah peradaban dan moral buruk akan
menghancurkan manusia tersebut

Share Kebaikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *