Jalan Hidup Yang Lurus bagi Anak
Anak kita sekarang hidup di simpang tiga peradaban yang membingungkan. Dari sudut geografis, mereka lahir di masyarakat timur yang masih tradisional, primitif dan cenderung mentolerir kesyirikan, secara historis mereka hidup di zaman modern yang sekuler, materialistik, individualistik dan permisif bahkan menuju ke arah liberal dan liar. Sedangkan secara teologis anak kita, kita masukkan sebagai seorang yang beragama Islam.
Ketiga sistem nilai tersebut masing-masing berusaha membentuk pola pikir, pola sikap dan pola tindak anak kita. Tentu saja, anak kita berada pada posisi kebingungan untuk menentukan nilai-nilai mana yang akan dijadikan basis perilaku. Akhirnya hampir semua anak-anak kita cenderung mimikri (‘mbunglon’). Kadang-kadang nampak Islami, kadang-kadang nampak tradisional dan kadang-kadang nampak trendy. Lihat saja dalam berpakaian, di saat rekreasi mereka berpakaian trendy, saat beribadah berpakaian “syar’i” di saat perayaan adat dan perayaan Hari Kartini mereka berpakaian tradisi.
Dalam perspektif sejarah peradaban, nilai-nilai tradisional adalah kekuatan masa lalu yang mulai lemah di masa kini dan akan lenyap di masa depan untuk bersiap menjadi barang antik atau suaka budaya untuk komoditi pariwisata. Nilai-nilai sekuler adalah nilai-nilai masa kini yang telah menjadi panglima dan berpengaruh global, sehingga tidak ada sudut duniapun yang bisa menghindar dari pengaruh peradaban ini. Tetapi hukum baja sejarah merumuskan, setiap peradaban yang sudah sampai pada zaman keemasan atau puncak kulminasi maka itu adalah awal berproses turun menuju kehancuran. Peradaban barat adalah penguasa masa kini yang siap turun tahta untuk masa depan. Sedangkan peradaban Islam juga pernah mengalami kebangkitan, keemasan dan kehancuran. Hukum sejarah juga bicara, setiap peradaban yang dilandasi oleh nilai-nilai absolut pasti akan mengalami kebangkitan kembali setelah melewati masa kehancuran. Sehingga Islam, baik oleh lawan maupun kawan diyakini sebagai peradaban masa depan yang sedang merangkak untuk bangkit kembali.
Dalam perspektif sejarah pula, manusia selalu terbagi menjadi tiga angkatan generasi yaitu generasi tua, generasi dewasa dan generasi muda (generasi masa lalu, generasi masa kini dan generasi masa depan). Anak-anak kita sebagai calon generasi masa depan hendaknya sejak sekarang kita pilihkan tata nilai yang bisa mengantar kepada peradaban masa depan, yaitu peradaban Islam. Oleh karena itu, sesuai petunjuk Al-Qur’an dalam Surat Al-Fatihah, kita disuruh berani memilih Islam dan berani menolak nilai-nilai yang mendatangkan kemurkaan Allah dan nilai yang menyesatkan dari jalan Allah. Dalam konteks sejarah, ajarilah anak kita berjalan di atas ajaran Islam dan menolak peradaban barat dan warisan tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Islam.